Jumat, 25 September 2009

putri bermata cinta

Bulan madu seorang Pangeran dan Putri terganggu.
Baru sebulan merayakan pernikahan mereka, kerajaan mereka yang kecil di serbu tentara Persia, pimpinan Raja Koresy.
Pasukan Koresy sangat terkenal dan tak terkalahkan.
Sehingga mereka menganggap enteng kerajaan kecil ini dan hanya mengirimkan pasukan beberapa panglima.
Tapi tentara Pangeran berperang dengan gagah berani. Berbulan-bulan pasukan Koresy tidak mampu menaklukan kerajaan ini.
Akhirnya Raja Koresy datang sendiri mengerahkan seluruh kekuatannya.
Dan jatuhlah kerajaan kecil. Pangeran tertangkap, dan besoknya seluruh keluarga kerajaan akan dihukum hati di depan lapangan pusat kota kerajaan.
Malam sebelum hukuman mati, Raja Koresy dan seluruh panglimanya berkumpul.
Ingin melihat seperti apa Pangeran yang hebat ini. Saat Pangeran dan Putri dibawa masuk, berseru lah pejuang Persia dengan kagum.
Pangeran masih muda, tetapi keberanian dan keterampilan nya bertarung sudah menjadi legenda dan buah bibir tentara Persia.
“Ini luar biasa. Tidak sanggup tanganku membunuh pejuang sehebat ini..” seru Koresy. Dan seluruh panglimanya mengangguk-angguk.
“Baiklah,” sabda Raja Koresy, “Karena kepahlawananmu yang luarbiasa, aku membebaskan mu.
Kamu harus pergi ke Timur Persia dan tidak kembali ke kerajaan ini lagi. Aku akan memelihara kerajaanmu dengan baik.
Tapi istrimu dan seluruh anggota istana akan digantung besok pagi…”
Sang Putri dengan anggun berdiri, namun matanya gemetar dalam kengerian dan ketakutan.
Tiba-tiba semua mebelalakk dan mendesah. Pangeran berlutut di hadapan Koresy.
Semua memalingkan wajah tidak sanggup melihat pejuang legendaris bertekuk lutut dihadapan musuhnya.
“Raja Koresy. Engkau tahu aku lebih baik mati daripada takluk dihadapanmu. Tapi hari ini ijinkan aku mengajukan permohonan.
Selamatkan lah nyawa istriku. Aku sangat mencintainya. Aku belum sempat membahagiakannya. Ambil aku sebagai gantinya besok pagi…”
Raja Koresy tertegun melihat kebesaran cinta Pangeran. Dengan menghela nafas, Raja Koresy memutuskan melepaskan keduanya pergi malam ini juga.
“Sebelum matahari terbit, kalian sudah harus berada di luar tapal batas kerajaan…”
Semalaman, Pangeran dan Putri memacu kuda mereka melintasi sungai, lembah, dan bukit.
Tidak ada yang berbicara. Hingga tiba di gunung tapal batas.
Matahari mulai bersinar diufuk timur, sehingga Pangeran berhenti dan memandang bekas kerajaannya untuk terakhir kali.
“Kerajaan ini akan baik di tangan Raja Koresy, “ucapnya memecah keheningan, “Kau lihat sendiri bukan, ia ternyata raja yang bijaksana?”
Tiba-tiba Sang Puteri menatap Pangeran, tangannya mencengkeram kuat,
“Aku tidak kenal Raja Koresy. Aku tidak melihat siapa-siapa tadi malam. Karena mataku hanya tertuju pada seorang lelaki, yang sujud dan rela mati agar aku tidak dibunuh.
Seorang lelaki yang menukar harga dirinya agar aku hidup..!”
Cengkeraman Sang Puteri semakin keras.
Matanya berlinangan airmata, tapi dari matanya meyorot keteguhan dan kekerasan hatinya memaksa untuk tidak menangis,
“Pangeran, jangan pernah jauh dariku. Jangan pernah pergi dariku. Aku tidak mau hidup kalau aku tidak melihatmu sehari saja…”
Pangeran tercengang! Mata sang putri tidak lepas menatapnya. Berkilau terkena mentari pagi dari ufuk timur.
Ia kehilangan kerajaannya, tetapi sekarang ia bertahta di sebuah hati….
Mereka memacu kuda menuju padang rumput di timur Persia. Dan menetap diantara orang-orang berkuda dipadang rumput timur.
Istrinya selalu berada disampingnya, dan selalu menatap Pangeran dengan cinta. Sehingga orang-orang mengenal Pangeran sebagai Pangeran Berkuda.
Dan sang Puteri sebagai Puteri Bermata Cinta….

Sabtu, 19 September 2009

Gaza Sniper

Debur ombak mediterania mengaduh riuh terdengar ditelingaku. Entah sudah berapa lama aku tidak melihat birunya laut tengah. Ingatanku kembali ke masa lalu, ketika kedua orang tuaku mengajakku kepinggir pantai membayangkan bahwa dahulu di laut tersebut lalu lalang pelaut-pelaut dari Venesia, Arab ,dan bahkan India serta cerita kanun-kanunnya. Begitu tenang dan menghanyutkan. Aku rindu aroma angin lautnya. Aku rindu hamparan pasir putihnya. Aku rindu cakrawalanya. Dimana Hud-Hud terbang dengan sangat tinggi kemudian melapor kepada Sulaiman penguasa suci. Dan sekarang aku kembali melihat laut yang telah menjadi saksi bisu sejarah ketika ratusan ribu ksatria benua biru menjejakkan kakinya di bumi para nabi. Andai bukan panglima kurdi Shalahuddin al Ayubi yang membebaskan bumi yang diberkahi. Aku takkan bisa seperti ini. Dipenuhi cahaya iman. Serta menjadi penjaga al- Qur’an.

Aleksandria, kota di Mesir utara. Setelah meninggalkan Kairo yang penuh dengan cerita. Akhirnya sampai di kota pelabuhan Aleksandria yang menyimpan keindahan afrika utara dengan sungai Nil-nya. Jika siang dan malam bermusuhan dan angkasa serta samudera berjauhan maka di Aleksandria-lah mereka semua dipertemukan dalam satu bentuk keindahan. Entah semburat fajar mentari yang menghiasi laut yang bergelora sepi atau lembayung senja matahari yang keemasan menyepuh cermin cakrawala tepi. Bagaimana mungkin kita tidak percaya bahwa Cleopatra cantik luar biasa hingga sang Caesar pergi meninggalkan singgasananya di roma jika kota tempat tinggal Cleopatra saja seindah surga.

Mesir bumi para anbiya. Kisah Yusuf dan Zulaikha. Cerita Fir’aun dengan nabi Musa. Berlatar di negeri yang eksotis ini. Negeri dimana terdapat Universitas tertua di dunia. Setelah delapan tahun masa pendidikan di Al Azhar berlalu. Kini aku kembali ke tempat dimana pohon tin dan zaitun berbunga. Kembali kekampung halamanku disana. Penjara terbesar didunia yakni Jalur Gaza. Sudah sewindu aku meninggalkan kampung halamanku tersebut. Aku ingat ketika umurku tujuh belas tahun, hidup sebatang kara. Kedua orang tuaku wafat karena rudal tomhawk yang menghantam salah satu sisi rumah kami. Hanya aku yang selamat dari kejadian tersebut. Aku yang terlunta-lunta hidup di jalanan Gaza, bekerja apa saja demi sebutir kurma. Hingga pada suatu hari ketika aku tidak mempunyai makanan dan uang,. Aku merasa hidupku akan berakhir. Tiba-tiba datang seorang gadis kecil berumur sepuluh tahun yang menyerahkan sekantung kurma kepada diriku yang lemah ini. Dia hanya tersenyum. Aku hanya bisa mengingat tatapan mata birunya. Sejak saat itu aku berjanji untuk mengabdikan diriku kepada bangsaku. Agar tidak ada lgi orang orang yang bernasib sepertiku.

Namaku Ahmad Quthuz. Aku sangat bangga dengan nama yang diberikan ayahku. Ahmad adalah nama lain dari Muhammad, rasul mulia. Quthuz adalah sultan Mesir yang menahan serangan tentara mongol yang melakukan ekspansi besar besaran ke timur tengah. Ketika tentara Islam terdesak oleh kehebatan kavaleri mongol dan mulai melarikan diri dari pertempuran. Beliau segera meneriakkan kata demi islam dengan sangat keras yang segera menyadarkan pasukannya yang serta merta pasukannya kembali kemedan pertempuran dengan gagah berani hingga tentara mongol lari meninggalkan peperangan sambil terus dikejar oleh pasukan Quthuz. Peristiwa itulah yang menandai berakhirnya ekspansi tentara mongol yang telah menyapu hampir setengah daratan dari Rusia hingga India, Syiria hingga tembok besar Cina.

Sudah satu malam aku melakukan perjalanan dari Kairo menuju Gaza. Aku memilih untuk transit di Aleksandria sebelum langsung menuju Gaza melewati perbatasan Rafah. Jadwal bis menuju Rafah akan berangkat jam delapan pagi. Dari tempat penginapanku di Aleksandria cukup dekat dengan Terminal bis tersebut. Selepas shalat Shubuh aku mengisi luang untuk tilawah sebentar. Setelah tiga puluh menit aku bersiap siap ke terminal bis tersebut. Semua barang barang sudah dipacking dan untuk data administrasi juga sudah lengkap. Semoga Allah memudahkan perjalananku hari ini. Aku sudah tidak sabar untuk mengabdi di tanah air.

Seorang laki laki tua menjadi petugas di loket pembelian karcis. Tubuhnya agak gemuk. Kulihat disekelilingnya terdapat segelas besar kopi yang tampaknya sudah bertahun tahun menemaninya. Semua benda yang dibutuhkannya berada dijangkauan tangannya. Sepertinya laki laki itu telah menyatu dengan loket pembelian karcis tersebut. Sebuah kipas angin tua yang menimbulkan suara yang berisik. Meski begitu tampaknya masih sangat berguna mengusir hawa panas yang berhembus dari sahara.
”Tuan, Karcis untuk tujuan Rafah.” Ketika giliranku telah sampai setelah antri tidak begitu lama.
”Seratus Pound, anak muda.” Jawabnya sekaligus memperhatikan diriku.
Tampaknya ia heran karena selama ini orang orang yang membeli karcis jurusan Rafah adalah orang tua. Mana ada anak muda yang mau berkunjung kedaerah yang berbatasan langsung dengan konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Rute bis ini akan melewati semenanjung sinai. Terdapat jalan beraspal hotmix yang cukup lebar.Semenanjung sinai memang tidak begitu subur. Namun daratan ini pernah diperebutkan dan menjadi saksi pertempuran antara tentara Mesir dengan Israel dalam perang enam hari Arab-Israel. Sepanjang perjalanan hanya terdapat dataran yang berwarna kuning, hampa hanya sesekali terlihat tanaman gurun menghiasi. Sesekali tampak rumah rumah penduduk yang berbentuk kotak dan terbuat dari tanah khas timur tengah. Serta tak jarang terlihat kawanan ternak yang sedang digembalakan seorang pengembala yang sedang menelepon lewat telepon genggam. Sebuah pemandangan yang unik. Andai bukan karena telepon genggam. Pemandangan ini akan sama dengan ribuan tahun lalu. Sebuah pemandangan yang sangat tenang padahal tidak jauh dari sini ada saudara saudara mereka yang telah menderita akibat blokade Israel dan didera perang berkepanjangan. Meski aku mengetahui bahwa banyak sekali kaum muslim yang masih sangat peduli kepada kami.

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak berdiam diri. Disampingku terdapat seorang lelaki yang kira kira berumuran sama denganku.Matanya yang biru. Tampak menghiasi raut mukanya yang khas arab. Aku memberanikan diri untuk menyapanya.
”Assalamualaikum akhi.”
”Waalaikum salam.”
”Terlihat akhi mau ke Rafah?”
”Insya Allah,anda juga ya ? kalau boleh saya tahu siapa nama anda ?”
”Insya Allah saya mau ke Rafah, tepatnya ke Gaza. Nama saya Ahmad Quthuz. Kalau saya juga boleh tahu siapa nama anda? ”
”Salman, Salman Al Farishi. Ada keperluan apa anda ke Gaza?”
”Saya berasal dari sana, setelah menuntut ilmu di Universitas Al Azhar, saya berencana mengabdikan hidup saya di tanah air tercinta. Dan bagaimana dengan anda sendiri?”
”Masya Allah seorang Azhari,semoga Allah meridhai apa yang anda lakukan. Saya mau berkunjung ke saudara sepupu saya. Kedua orang tuanya tidak lama ditangkap tentara Israel. Dan kami tidak mengetahui apakah orangtuanya masih selamat atau tidak. Dan sekarang dia hidup seorang diri. Saya diminta kakeknya di kairo untuk menemaninya selama kedua orang tuanya ditangkap.”
”Semoga Allah memudahkan urusanmu.”
Tidak lama kemudian kami kembali ke pikiran masing masing. Sibuk berkelana dalam bayangan masa lalu, seta merencanakan apa hal pertama yang akan kami lakukan sesampainya di Gaza. Tampak dari kejauhan pintu perbatasan Rafah mulai terlihat. Perbatasan ini dikontrol oleh empat pihak yakni Mesir, Palestina, Israel dan Uni Eropa. Dua pihak terakhir sebagai pengawas. Terdapat tiga lapis pos pemeriksaan Dua pos pemeriksaan masuk di bagian Rafah Mesir dan satu di Rafah palestina. Aku sudah tak sabar lagi untuk menginjakkan kakiku di negeri yang diberkahi. Pos pemeriksaan pertama telah kulewati. Sekarang aku menuju pos pemeriksaan kedua yang hanya beberapa meter dari pos pertama. Di pos ini ada pemeriksaan kelengkapan administrasi, semua passport orang-orang yang ingin memasuki Gaza diperiksa. Semenjak perkenalan di bis, aku sudah seperti saudara dengan Salman. Tampak kami saling bantu membantu membawa barang barang bawaan kami dalam melewati pemeriksaan.

Segala puji hanya milik Allah yang telah memudahkan urusan kami. Tinggal selangkah lagi aku akan menjejakkan kakiku ke tanah kelahiranku. Begitu petugas mempersilakanku memasuki tanah Rafah, aku tak percaya, aku berlari melintasi perbatasan Gaza seperti anak kecil yang telah menemukan kembali mainan kesukaannya. Salman hanya tersenyum melihat tingkahku tersebut.

ku bergegas ke rumah orang tuaku yang telah dibangun kembali. Tak ada siapa siapa disana. Orang tuaku memang sudah tiada. Namun ternyata rumah ini terawat dengan baik oleh para tetanggaku. Mereka yang telah melihatku segera berlari menghampiriku dan memelukku. Ini aku kembali wahai saudara-saudaraku. Kita akan sama sama melawan kezaliman ini. Kataku dalam hati ketika merasakan denyut jantung dada mereka ketika mereka memelukku satu persatu.Terasa penderitaan yang dilakukan penjajah Israel begitu dalam. Namun tetap terlihat ketegaran yang sangat luar biasa dari air muka mereka yang bercahaya. Aku perkenalkan Salman kepada mereka. Untuk sementara Salman tinggal bersamaku. Baru kemudian kita mencari saudara sepupunya.
”Aku harus mengamalkan ilmu yang sudah didapatkan.” kataku kepada Salman sahabatku membuka percakapan.
”Aku setuju denganmu dan aku mengusulkan agar kita mendidik anak anak Gaza untuk menjadi penghafal Qur’an. Karena aku berpendapat tidak akan ada orang yang mampu tetap bertahan dengan kondisi seperti ini kecuali orang orang yang selalu dekat kepada Allah. Dan aku berkeyakinan metode paling efektif untuk merasakan seakan akan berdialog dengan Allah adalah memperbanyak intensitas kita terhadap Qur’an.”
” Aku setuju denganmu, kita akan menyebarkan rencana kita kepada saudara saudara kita. Hingga nanti dalam waktu dekat akan lahir generasi para hafizh Qur’an. Yang dengannya Allah akan berkenan memberikan pertolongan-Nya kepada kita semua. Dan memberikan kemenangan yang gilang gemilang.”

Rumahku kini telah berisi aktivitas baru. Puluhan anak anak Gaza talaqqi qur’an kepadaku. Salman sebagai orang yang mengatur perencanaan lembaga tahfizh Qur’an kami kedepan. Ketika semuanya sudah lancar maka giliran saya membantu Salman mencari saudara sepupunya. Telah lima hari kami mencari Shafia. Saudara sepupu Salman. Sampai disebuah persimpangan jalan aku melihat seorang wanita yang sedang terduduk lemas. Ah aku ingat kejadian waktu aku kecil. Aku bergegas menghampiri dan membantunya. Kupanggil Salman. Salman dengan setengah berlari menghampiri aku yang sedang mencoba menolong perempuan tersebut. Tampak setengah tak percaya. Salman menyadari bahwa perempuan yang ada didepannya adalah Shafia, saudara sepupunya. Dia bisa mengenali dari warna biru mata wanita tersebut yang sama dengan warna mata yang dia punya. Delapan tahun berlalu, tidak terasa gadis kecil berumur sepuluh tahun kini menjadi seorang perempuan dewasa. Ternyata dunia terasa begitu sempit. Dan takdir memainkan perannya sedemikian sulit. Aku tertegun, tak salah lagi dialah yang selama ini aku cari cari. Wanita bermata biru yang delapan tahun lalu telah menolong diriku yang hampir mati. Dan kini dia adalah saudara sepupu sahabatku sendiri.

Lima tahun telah berlalu sejak aku dan sahabatku mengazzamkan diri untuk mencetak generasi para penjaga kalam Allah di muka bumi. Shafia telah masuk dalam barisan kami. Aku pun menikahinya dengan menjadikan Salman sebagai walinya. Dan sekarang kegembiraan kami berlipat ganda karena tidak lama lagi akan ada pelantikan lima ribu hafizh qur’an didikan lembaga Tahfizh yang kami dirikan oleh perdana menteri Ismail Haniya tepat pada tanggal satu Ramadhan. Tinggal seminggu lagi acara tersebut akan dimulai. Semua persiapan sudah dilaksanakan. Tinggal menunggu intruksi pelaksanaan dari pihak pemerintah palestina.

Tak terasa hari yang ditunggu tunggu pun tiba. Shubuh kali ini akan terasa berbeda. Usai shalat saya bergegas untuk kembali kerumah untuk bersiap siap. Tiba tiba terdengar suara menderu-deru dari kejauhan. Allahu akbar ! . Pesawat tempur Israel terbang memasuki Gaza dan mulai menggempur seisi kota. Panggilan jihad segera berkumandang. Dengan setengah berlari aku bergegas ke kembali rumahku, kemudian Buum !. suara menggelegar terdengar didepanku. Aku merasakan firasat buruk. Innalilahi wainna ilaihi roji’un. Rudal tomhawk telah mnghantam rumahku. Shafia ada disana ! Tidak ini tidak boleh terjadi. Dia adalah permata hatiku. Satu satunya pelipur laraku. Bahkan kami belum dikaruniai keturunan. Kuberlari secepat mungkin. Membongkar setiap reruntuhan yang berserakan. Tak dapat kutemukan jasad Shafia. Dia telah menjadi puing. Aku tak tahu harus bagaimana. Sedih, marah, geram,hampa bercampur aduk di hatiku.Salman yang mengetahui hal tersebut ikut menabahkan diriku. Meski aku tahu dia juga sangat sedih atas kepergian saudara sepupunya.

Setelah kejadian itu. Aku banyak merenung dan mencoba untuk mengikhlaskan kepergian belahan hatiku. Tampak Salman yang duduk didepaku terus menunduk berusaha mencari semangat dalam dirinya.
”Kita harus berjihad,Salman”
”Aku setuju denganmu, tapi bagaimana? Kita tidak mempunyai persenjataan.”
”Itu bisa diusahakan, aku akan menjual tanah orang tuaku”
”Lalu dimana kita akan tinggal ?”
”Kita kan tinggal di masjid masjid sambil mengajarkan Qur’an”
”Baiklah jika kau sudah mantap,akan kucari senjata bila uang hasil penjualan tanah sudah ada”
”Lima ribu hafizh Qur’an binaan kita akan menjadi inti tentara kita.”
”Semoga Allah meridhai apa yang kita niatkan. Dan memberikan kemuliaan kepada kita berupa kemenangan maupun syahid dijalan-nya.”
”Amin.”
Sebuah sejarah kan lahir, setiap masa akan punya pahlawan zamannya. Dan zaman ini akan menjadi zaman kita. Setiap tentara yahudi akan merasakan pedihnya azab yang akan ditimpakan kepada mereka. Akan kami datangi mereka dengan tentara yang mencintai kematian sebagaimana mereka yang sangat menyukai minuman memabukkan.

Sudah dua puluh hari semenjak dideklarasikan jihad terhadap penjajah yahudi. Tentara yahudi semakin masuk merangsek jantung kota. Pemukiman penduduk diruntuhkan. Berton – ton bom dijatuhkan setiap malam. Menampilkan keindahan suasana malam yang sangat mencekam.
”Apa yang harus kita perbuat. Persenjataan kita semakin menipis. Blokade Israel semakin ketat. Banyak terowongan terowongan kita di Rafah yang dihancurkan, dan kini hanya sedikit yang masih berfungsi dan itupun hanya bisa menyelundupkan suplai logistik.” Tanya Salman yang sudah mulai putus asa. Akupun melihat hal yang sama hampir di setiap air muka pasukanku yang sudah letih setelah mengalami peperangan selama dua puluh hari tanpa berhenti. Karena hampir disetiap waktu tentara Israel menyerang kami dengan membabi buta lewat pesawat pesawat udaranya. Maupun kavaleri beratnya dimana tank tank minerva sudah memasuki jantung kota Gaza.
”Mereka menembaki kita hampir disetiap waktu, mereka begitu mudah membuang buang peluru.”Salman kembali berbicara.
”Tidak kita tidak boleh menyerah. Renungkan wahai saudara saudara. Gaza adalah benteng terakhir umat ini dalam mempertahankan palestina. Amanah besar terletak kepada pundak kita semua. Dengarkan hadits Rasulullah saw ini baik-baik. Saat beliau berkata kepada Mua’dz bin Jabal r.a : ’Sesungguhnya Allah Swt,akan membuka negeri Syam untuk kalian sesudahku. Dari ’Arisyi hingga sungai Eufrat. Para lelaki,wanita dan orang tua senantiasa bersiap siaga hingga hari kiamat.Barang siapa yang diantara kalian memilih salah satu pesisir negeri Syam, atau Bait Al Maqdis sebagai tempat tinggalnya. Maka dia akan senantiasa berada dalam suasana jihad hingga hari kiamat. Sudah menjadi tanggung jawab kita untuk mempertahankan negeri ini, sudah menjadi konsekuensi kita yang telah memilih palestina sebagai tempat tinggal kita. Allah telah memilihkan kepada kita di tempat yang baik ini di bumi yang diberkahi. Allah telah memilih kita untuk berperang di bulan ramadhan yang diberkahi.Sesungguhnya Rasulullah memenangkan ba’dar di bulan ini. Insya Allah dengan berkah bulan Ramadhan, Allah akan memenangkan kita dari golongan orang orang yang zalim. Semoga Allah Swt menjadikan kita sebagai orang-orang yang memenuhi panggilan jihad-Nya”
”Amin.”
”Selama kita berada disini saya akan selalu mengingatkan saudar saudara untuk tetap berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sesungguhnya salah satu alasan mereka menyerang kita saat ini adalah keberhasilan kita menghasilkan ribuan penghafal Qur’an. Bukan senjata yang mereka takutkan, tetapi orang orang yang selalu dekat denga Al- Qur’an yang mereka takuti.”
Aku pun melayangkan pandanganku ke semua pasukan yang tersisa.
”Adapun untuk amunisi yang masih tersisa, saya mengintruksikan untuk segera didata. Insya Allah saya mempunyai sebuah rencana.”
”Syeikh Ahmad, apa yang kan kau lakukan dengan semua amunisi tersebut?”
”Masing masing dari kita harus melatih skill menembaknya. Usahakan satu peluru cukup untuk mengirim satu orang tentara yahudi ke neraka. Jika mereka menembakkan ribuan bahkan jutaan peluru kepada kita, maka kita akan menembakkan peluru yang masing masing peluru sudah tertulis nama mereka !”
”Allahu Akbar !!”
”Allahu Akbar !!”

Pertempuran selanjutnya kami lebih berimbang. Meski kami berlatih kemampuan baru. Menembak dengan tepat sasaran ketika mereka lengah ditengah tengah kesunyian, dan menghilang dengan cepat. Hal ini membuat tentara Israel seakan-akan tak berani lagi untuk menunjukkan wajah sombongnya. Mereka khawatir sekiranya tiba – tiba sebutir peluru melesat ke kepalanya setelah mendengar teriakan takbir. Pola pertempuran semakin berubah. Telah terlahir julukan baru bagi para mujahid yang melawan agresi Israel selama satu bulan penuh. Ketika mereka beribadah maka akan terdengar dengungan suara mirip lebah tanda mereka sedang membaca Al-Qur’an namun ketika berjihad mereka takkan bisa mendengar suara mereka sedikitpun.Seolah olah mereka telah berubah menjadi Izrail bagi tentara Israel. Mereka adalah Gaza sniper.